Dengan atau tanpa label, gejala yang di sebut
“DEKON” secara nyata telah dirasakan kehadirannya dalam bidang
arsitektur. Namun adalah tugas para teorikus dan kritikus arsitektur
untuk meneliti lebih mendalam gejala tersebut, mengidentifikasikan
karakteristiknya, mengemas dan membubuhinya dengan label yang
dianggap paling tepat, serta mendaurkannya dalam wacana arsitektural.
Sejak
tahun 1988, gejala ‘Dekon’
dalam arsitektur telah menjadi tajuk perdebatan yang hangat. Usaha
untuk mencari kejelasan tentang gejala tersebut telah ditempuh
melalui berbagai cara : symposium, pameran, essay, buku, wawancara
dan lainnya. Kontroversial yang paling seru terutama menyangkut label
yang dibubuhkan pada gejala tersebut. Manakah yang tepat :
‘Dekonstruksi’
atau ‘Dekonstruktivisme’
?
Masing-masing
label tersebut mengacu pada asumsi, sudut pandang, interpretasi dan
implikasi yang berbeda.
Label
‘Dekonstruksi’
secara luas digunakan dalam lingkungan intellectual di Perancis dan
Inggris, berlandaskan pada asumsi bahwa gejala ‘Dekon’
secara langsung berkaitan dengan filsafat kritis Jacques
Derrida.
Label tersebut secara resmi dikukuhkan dalam “
International Symposium on Deconstruction ”
yang diselenggarakan oleh Academy Group di Tate Gallery, London
tanggal 8 April 988, dimana kehadiran Derrida diwakili oleh rekaman
video wawancaranya.1
“ …… there
is no monologue possible in Deconstruction …. There is no single
author of any Deconstruction. It’s always a multiplicity of
voices/gestures. And you can take this as a rule : each time
Deconstruction speaks through a single voice, it’s wrong, it’s
not Deconstruction any more.”
Label
“Dekonstruktivisme”
yang lebih berkonotasi pragmatics dan formal terutama di gunakan di
Amerika Serikat, dicetuskan oleh Philip
Johnson
dan Mark Wigley melalui sebuah pameran bertema “Deconstructivist
Architecture”
yang diselenggarakan di Museum of Art, New York, tanggal 23 Juni –
30 Agustus 1988. Melalui label tersebut terungkap penyangkalan
terhadap adanya keterkaitan antara gejala “Dekon” yang diwakili
oleh karya tujuh tokoh arsitek yang di tampilkan dalam pameran dengan
Jacques Derrida.2
Argumentasinya adalah bahwa gejala
“Dekon”
diilhami oleh gerakan garda depan “Konstruktivisme
Rusia” yang berkembang pada tahun 1920 – 1932, dengan
tokoh-tokohnya antara lain Chernikhov, Leonidov, Rodchenko, Burov,
Tatkin, Malevich. Lebih jauh ditekankan bahwa pada dasarnya
‘Arsitektur
Dekonstruktivisme’ bukanlah gaya, prinsip atau gerakan baru,
tetapi lebih merupakan kebangkitan kembali dan transformasi lanjut
dari gerakan “Konstruktivisme
Rusia”.
Dalam
pameran tersebut Johnson dan Wigley mencoba menunjukkan kemiripan di
antara karya – karya konstruktivis Rusia yang mencoba mematahkan
aturan dan tradisi arsitektur modern yang serba tertib dan beraturan
(perfection).
Wigley
menjelaskan bahwa arsitektur adalah disiplin konservatif yang
terobsesi oleh mimpi tentang bentuk-bentuk murni. Dekonstruksi,
berlandas pada semangat konstruktivisme Rusia, mencoba mengoyak mimpi
indah tersebut melalui penampilan bidang-bidang yang simpang siur dan
garis-garis yang centang
merentang
sehingga keseluruhan struktur seolah-olah segera akan runtuh. Prisip
estetika subversive ini secara sengaja diungkapkan memalui kutipan
yang panjang di pintu masuk pameran :
“Pure
form has indeed been contaminated, transforming architecture into an
agent of instability, disharmony and conflict “.
Banyak
kritik dilontarkan terhadap usaha Johnson dan Wigley dalam
membeberkan paralelisme antara “Arsitektur Dekonstruktivisme”
dengan Konstruksionisme Rusia”, karena mereka semata-mata hanya
mendasarkan pada kemiripan bentuk dan estetika, sama sekali
mengabaikan konteks sosial politik dan ideologi di mana ke dua gejala
tersebut tumbuh. Kredibilitas kategori “Deconstructivist
Architecture”
yang diusulkan oleh Johnson dan Wigley juga patut diragukan, karena
beberapa tokoh yang karyanya ditampilkan dalam pameran tersebut
merasa keberatan untuk digolongkan ke dalam kategori arsitek
Dekonstruktivisme.3
Charles
Jencks cukup bijaksana untuk menggunakan istilah “Neo-Constructivism”
dalam membahas karya-karya yang oleh Johnson dan Wigley di sebut
“Deconstructivist
Architecture”.4
Geoffrey
Broadbent mencoba menengahi kontroversi sekitar label “Dekonstruksi”
dan “Dekonstruktivisme”
dengan mengambil posisi yang netral meski kemudian ia lebih memilih
“dekonstruksi” sebagai terminology yang lebih tepat digunakan.
Menurut pengamatannya tokok-tokok Dekonstruksi telah membentuk
kelompok yang cukup koheren, namun tidak semuanya memiliki kaitan
dengan filsafat Jacques Derrida ataupun Konstruktivisme Rusia.
Arsitektur dekonstruksi bisa lahir dari pengaruh filsafat Derrida,
karena itu tepat untuk disebut “Dekonstruksi
Derridean”,
tetapi juga bisa lahir sekedar sebagai produk pragmatis dan formal,
sehingga tepat disebut “Dekonstruksi
Non-Derridean”.5
Untuk kelancaran
pembahasan dan konsistensi penggunaan istilah, maka penulis akan
mencoba memanfaatkan posisi dan taksonomi yang telah dirintis oleh
Broadbent.
FILSAFAT DEKONSTRUKSI
Pertanyaan
sulit yang berulang kali muncul dalam pembahasan tentang
“Dekonstruksi” dalam Arsitektur adalah: Apa relevansi filsafat
“Dekonstruksi Jacques Derrida ?”6.
Untuk menjawab pertanyaan tersebut perlu ditinjau secara singkat
pemahaman Derrida tentang Bahasa,
metoda dekonstruksi,
serta
kritiknya terhadap “Phonosentris
“ dan “Logosentris”.
B A H A S A
Jacques
Derrida mengajukan sebuah konsep penting yang berkaitan dengan
bahasa, yaitu “saus
rature” (under
erasure), yang diturunkan dari Martin Heidegger : being. Karena kata
tidak akurat dan tidak memadahi, maka harus dicoret. Tetapi karena
masih dibutuhkan, maka harus tetap dapat dibaca.
Menurut
Derrida, penanda (signifier) tidak langsung menggambarkan petanda
(signified) seperti kaca memantulkan bayangan. Hubungan penanda –
petanda tidak seperti dua sisi dari sehelai kertas yang digambarkan
Saussure, karena tidak ada pemisahan yang jelas antara penanda –
petanda. Apabila kita ingin mengetahui makna suatu petanda, kita
harus melihat kamus. Tapi yang ditemukan adalah penanda – petanda
lain yang tandanya harus dicari kembali. Jadi process interpretasi
selalu bersifat tanpa batas dan sirkuler. Penanda beralih bentuk
menjadi petanda, demikian juga sebaliknya, sehingga kita sebenarnya
tidak pernah sampai pada petanda terakhir yang bukan penanda.
Interpretasi
dengan demikian merupakan aktifitas tanpa akhir dan tanpa dasar.
Uraian di atas
membuktikan bahwa makna tidak hadir langsung dalam suatu tanda. Makna
tersebar sepanjang rantai penanda, tidak bisa dipastikan (unreadable)
karena senantiasa timbul tenggelam (antara ada dan tiada), Proses
membaca sebuah teks lebih mirip penelusuran proses timbul tenggelam
tersebut, alih-alih penghitung manik-manik sebuah kalung.
Struktur
tanda ditentukan oleh jejak yang senantiasa absent. Tanda membawa
kita pada tanda yang lain dan seterusnya tanpa batas, yang secara
bergiliran menjadi penanda dan petanda. Tanda tidak dapat dipelajari
sebagai unit homogen yang menjembatani object (referent) dan tujuan
akhir (makna) seperti dianjurkan semiotika, tetapi sebagai “under
erasure”,
karena tanda selalu diisi oleh jejak tanda lain.
Bahasa
dengan demikian merupakan proses termonal. Apabila kita membaca,
makna yang dikandungnya senantiasa ditangguhkan. Sebuah tanda
mengantar kita pada tanda yang lain, dan makna yang muncul lebih awal
di ubah oleh yang muncul kemudian, Makna tidak pernah identik dengan
tanda. Makna berubah menurut konteks atau rantai penanda yang
mengikatnya. Dalam konteks yang berbeda, tanda memiliki makna yang
berbeda pula. Contohnya istilah “Pharmakon”,
yang
berarti racun atau obat penyembuh. Makna istilah tersebut tidak bisa
ditetapkan karena berubah menurut konteks (undecidable).
Pada akhirnya dapat
disimpulkan bahwa bahasa tidak stabil seperti yang diduga oleh para
strukturalis. Elemen-elemen bahasa tidak bisa didefinisikan, karena
harus senantiasa dibaca / ditelusuri dalam kaitannya dengan yang
lain.
METODA DEKONSTRUKSI
Dekonstruksi
menurut Derrida adalah “
Metoda membaca teks secara teliti’,
sehingga premis-premis yang menandainya dapat digunakan untuk
meruntuhkan argumentasi yang disusun atas premis tersebut.
Dekonstruksi dengan demikian membuktikan bahwa bibit kehancuran
sebuah teks ada dalam dirinya, berupa inkonsistensi dan paradoks
dalam penggunaan premis dan konsep. Dengan kata lain, teks selalu
gagal menurut kriterianya sendiri. Dekonstruksi dengan demikian
menyangkal kemungkinan hadirnya suatu makna yang tunggal dan koheren
dalam teks. Dekonstruksi mencoba membedah teks untuk menunjukkan
dasar-dasar inkoherensinya. Derrida mengunakan konsep “Difference”
yang merujuk pada kemungkinan tanpa batas untuk bermain dengan
makna-makna yang berbeda, sehingga interpretasi definitive suatu teks
tidak pernah dimungkinkan. Seperti diyakini oleh Derrida,
“there
is nothing outside the text”.
Derrida
mengkaitkan metoda dekonstruksi dengan kritik terhadap ‘metaphysics
of presence’
yang menjadi asumsi para filosof tradisional. Derrida menolak gagasan
bahwa ada yang disebut ‘present’
dalam pengertian suatu saat yang terdifinisikan sebagai sekarang
(now). “The
Present”
bagi hampir semua orang adalah daerah yang dikenali. Manusia tidak
pernah yakin tentang apa yang terjadi di mana lampau dan apa yang
akan terjadi di masa depan, atau apa yang terjadi di tempat lain.
Manusia mengandalkan diri pada pengetahuan yang ada sekarang dan di
sini, dunia perceptual yang dialami sekarang.
Derrida
juga mengembangkan konsep ‘Difference’,
yang dibentuk dari gagasan gabungan kata “to
differ”
dan
“to defer”
(to delay, to postpone). Dengan konsep tersebut ia ingin menjelaskan
bahwa tanda mencirikan “an
absent
presence”.
Manusia mengunakan tanda agar tidak perlu menghadirkan obyek secara
langsung, meski makna tanda harus tertangguhkan.
PHONOSENTRISME
Akibat
asumsi tentang ‘presence’
yang demikian kuat, juga karena bahasa ucapan lahir terlebih dahulu
dari bahasa tulisan, maka manusia memberikan prioritas pada bahasa
ucapan (speech), alih-alih bahasa tulisan (writing).
Dalam bahasa ucapan
manusia dapat menangkap makna dan kesan kehadiran secara langsung.
Akibatnya bahasa ucapan dihargai lebih tinggi dari bahasa tulisan.
Bahasa tulisan dianggap sekedar peniruan atau transkripsi dari bahasa
ucapan.
Usaha
untuk mendekonstruksikan oposisi antara bahasa ucapan dengan bahasa
tulisan menurut Derrida dapat dilakukan melalui kritik terhadap
“metaphysics
of presence”.
Ia misalkan mengkritik Husserl
yang mencoba menemukan bukti kehadiran diri lewat suara. Husserl
beragumentasi bahwa ketika berbicara, manusia berhadapan dengan
dirinya secara berbeda di banding ketika ia menulis. Kata – kata
yang diucapkan manusia segera hadir dalam kesadarannya secara intim,
sementara tulisan cenderung merampas eksistensi manusia. Melalui
kritik ‘metaphysics of presence’ Derrida berusaha mengangkat
bahasa tulisan pada posisi yang sejajar dengan bahasa lisan.
LOGOSENTRISME
Apabila
Phonosentris bertumpu pada suara , maka logosentrism menurut Derrida
bertumpu pada konsep kebenaran dan realitas hakiki yang tak dapat
dikritik, yang disebut Metafisik. Derrida menilai makna
transcendental tersebut sebagai fiksi atau dongeng. Kebebasan,
otoritas dan keteraturan tidak mungkin menjadi sumber hakiki
(origin),
karena kehadiran makna tersebut harus didahului oleh kehadiran
tanda-tanda lain.
Metafisik
adalah sistem berpikir yang berlandaskan pada “binary
Opposition”,
2 (dua) kutub yang satu dengan yang lain saling menyangkal. Oposisi
binary mencerminkan suatu cara memandang atau ideologi yang cenderung
menarik garis tegas antara apa yang bisa di terima dan apa yang harus
ditolak, antara yang dianggap benar dan yang salah, antara permukaan
dan isi. Oposisi binary menurut Derrida berkaitan dengan “sentrisme”,
yaitu kerinduan manusia akan pusat (center).
Derrida berusaha
menghancurkan oposisi binary yang dianggap telah salah dan membatasi
cara berpikir manusia dan memperkokoh kehadiran metafisik dalam
pikiran manusia. Ia memusatkan analisanya pada daerah di antara
oposisi tersebut (margin) dan berusaha menggeser fokus perhatian
manusia dari pusat ke tepi, dari persamaan ke perbedaan, dari
kesatuan ke fragmentasi, dan dari “presence” ke “absence”,
atau dari elemen pertama yang selama ini dianggap penting dan dominan
ke elemen kedua yang dianggap tidak penting, subordinate, interior
atau negative.
RELEVANSI TERHADAP ARSITEKTUR
Filsafat
Dekonstruksi Derrida sangat relevant karena menawarkan pemahaman dan
perspektif baru tentang arsitektur, sehingga proses pemikiran kembali
(rethinking)
premis dan kaidah tradisional arsitektur dapat dilakukan.
Dekonstruksi telah menggariskan prinsip-prinsip penting sebagai
berikut, bahwa :
- Tidak ada yang absolut dalam arsitektur, Tidak ada satu cara atau gaya yang terbaik, atau landasan hakiki di mana seluruh arsitektur harus berkembang. Gaya klasik tradisional, modern dan lainnya mempunyai posisi dan kesempatan yang sama untuk berkembang.
- Tidak ada ontology dan theology dalam arsitektur. Tidak ada tokoh dan figure yang perlu di dewa-kan atau disanjung.
- Dominasi pandangan dan nilai absolut dalam arsitektur harus segera diakhiri. Perkembangan arsitektur selanjutnya harus mengarah pada keragaman pandangan dan tata nilai.
- “Visiocentrism” atau pengutamaan indera penglihatan dalam arsitektur harus diakhiri. Potensi indera lain harus dimanfaatkan pula secara seimbang.
- Arsitektur tidak lagi identik dengan produk bangunan. Arsitektur terkandung dalam ide, gambar, model dan fisik bangunan, dengan jangkauan dan aksentuasi yang berbeda.
Prioritas yang diberikan
pada ide, gambar, model dan bangunan harus setara karena ide, gambar,
dan model tidak hanya berfungsi sebagai simulasi atau representasi
gedung, tetapi bisa menjadi produk atau tujuan akhir arsitektur.
III. DEKONSTRUKSI DERRIDEAN
Dekonstruksi
Derridean dapat ditempuh melalui 2 (dua) cara, yakni Dekonstruksi
teks arsitektural dan Dekonstruksi program atau brief.
DEKONSTRUKSI TEKS
Dekonstruksi
dapat dilakukan pada teks arsitektural seperti karya arsitektur
Virtuous, Le Corbusier, dan penulis lainnya, dengan cara mencari
kontradiksi internalnya. Robert Venturi misalnya dalam “Complexity
and Contradiction”
(1966) mencoba menyerang konsep “transparansi”
yang oleh para kritikus dianggap sebagai ciri penting gerakan
arsitektur modern yang membedakannya dari arsitektur masa sebelumnya.
Venturi justru menonjolkan ciri “Both-And”
yang tampil cukup dominan dalam arsitektur modern, yakni kualitas
mendua seperti “terbuka
tetapi tertutup”,
“simetri
tetapi asymmetry”
dan
lain-lain. Menurut Venturi kualitas ‘luar’ dan ‘dalam’ tidak
dapat ditentukan secara transparan melalui kehadiran dinding fisik.
Bagian dalam suatu ruang mungkin merupakan bagian luar dari ruang
lain.
Robert Ventury,Historic allusory and symbolizedVanna Ventury House(1959-1963)Chestnut Hill, Pennsylvania |
DEKONSTRUKSI
PROGRAM
Dekonstruksi dapat dilakukan terhadap
program yang dominan dalam tradisi arsitektur modern, seperti konsep
estetika murni, kaitan bentuk dengan fungsi dan lain-lain.
Dekonstruksi program berusaha mematahkan otonomi modernism dan
kaidah-kaidahnya dengan menggunakan pembalikkan konsep-konsep yang
diturunkan dari modernisme sendiri atau sumber-sumber lain. Bernard
Tschumi melakukan Dekonstruksi program dengan beberapa pendekatan,
yakni :
- Cross Programming
menggunakan
konfigurasi spasial tertentu untuk program yang sama sekali
berbeda, misalnya
Bangunan gereja digunakan untuk tempat bowling.
Menempatkan
suatu konfigurasi spatial pada lokasi yang tidak berkaitan, misalnya
Museum
diletakkan dalam bangunan struktur parkir, atau beauty
parlous
dalam
sebuah gudang.
- Transprogramming
Mengkombinasikan
dua program yang sifat dan konfigurasi spatialnya berbeda, misal
Planetarium dikombinasikan dengan roller-coaster,
perpustakaan dengan track balap Mobil.
- Disprogramming
Mengkombinasikan 2
(dua) program sedemikian rupa sehingga konfigurasi ruang program
pertama mengkontaminasi program dan konfigurasi ruang kedua, misalnya
: Supermarket dikombinasikan dengan perkantoran.
Dalam Proyek Parc de la Villete -
Tschumi melakukan Dekonstruksi program dengan beberapa
strategi :
- Menata arsitektur yang kompleks tanpa rujukan pada kaidah desain tradisional seperti komposisi, hirarki, keteraturan, tetapi pada konsep “disjunction, disosiasi dan fragmentasi”.
- Memutarbalikkan oposisi klasik seperti bentuk-fungsi, struktur-ekonomi, dan menggantikannya dengan konsep contiguity dan superimposisi, permutasi dan substitusi. Tschumi mengendaki agar Parc de la Villete yang luasnya 35 ha menjadi pusat budaya yang terbuka dengan susunan bangunan yang terfragmentasi, alih-alih struktur Taman yang tunggal dan terpadu.
Setiap saat program terbuka pada
perubahan, sesuai dengan perubahan kebutuhan. Sebuah follies bisa
beralih fungsi dari restoran menjadi wartel, pusat informasi atau
gallery seni, namun identitas Taman secara keseluruhan dijaga
konstan. La Villete tidak memiliki pusat dan hirarkhi. Bentuk
keseluruhan bukanlah hasil karya Tschumi , tetapi hasil superimposisi
tiga sistem geometri yang memiliki otonomi tersendiri : sistem titik
(follies), sistem garis (jalur surkulasi) dan sistem bidang (lahan).
Dengan demikian La Villette terhindar dari proses homogenisasi yang
akan membentuk menjadi totalitas yang utuh. Karena La Villette
senantiasa berada dalam proses perubahan, maknanyapun terus menerus
berubah (undecidable).
Peter Eisenmenn menggunakan beberapa
strategi untuk melakukan Dekonstruksi program :
- Penolakan terhadap “antroposentrisme” dalam desain, yaitu rujukan pada proporsi fisik tubuh manusia sebagai ukuran ideal bagi segalanya.
- Penerapan proses “scaling”, melalui pengembangan tiga konsep destabilisasi :
- discontinuity
- recursibility
- self similarities
- Penolakan terhadap ”center” sebagai bagian paling penting dan memiliki hirarkhi lebih tinggi.
- Penolakan terhadap kekakuan oposisi dialektis dan kategori hirarkis tradisional seperti “form – follow – function”, “ornament added to structure”, diganti oleh “existing between”, “almost this or almost that, but not quite either”.
- Pemahaman arsitektur secara tekstual dalam kaitan dengan “otherness”, “trace” dan “absence”.
Eisenmann dalam proyek “Romeo
and Juliet”
untuk Venice Biennale 1986 mencoba memperlakukan lahan sebagai
“palimpsest”
dan “quarry”
yang memiliki jejak-jejak memori dan potensi untuk digali lebih
lanjut, sementara dalam proyek “House
X” ia mencoba menghindari adanya pusat dalam
rumah. Dalam proyek “Wexner
Center for the Visual Arts” Eisenmann
berusaha menghapus batas-batas, konteks dan kode-kode yang berlaku.
Ia mencoba menerapkan “the
between” dengan memperlakukan bangunan yang
dirancang sebagai “non-building”
yang berada diantara bangunan eksisting, yakni Weigel Hall dan
Mershan Auditorium. The Wexner Center tidak memiliki identitas,
karena ia bergantung pada obyek-obyek lain untuk mengenali definisi
dan limitsnya sendiri. Ia tidak berfungsi sebagai ruang terlindung
biasa belaka, tetapi merupakan pusat yang menyangkali pusatnya
sendiri. Wexner Center juga berusaha menentang hegemoni ideologi
estetika yang berlaku dengan menolak tampil sebagai ruang kosong atau
latar belakang bagi karya seni yang dipamerkan. Susunan elemen ruang
dan pencahayaan tidak bisa diprediksi, sama seperti karya
eksperimental yang dipamerkan didalamnya. Dengan demikian hubungan
segi tiga antara pengamat , obyek dan setting saling berbaur dan
saling mendifinisikan.
IV. DEKONSTRUKSI
NON-DERRIDEAN
Dekonstruksi Non-Derridean mencakup
dekonstruksi bentuk dan struktur bangunan, yang didasarkan pada
konsep-konsep “Disruption”,
”Dislocation”, “ Deviation”, dan “Distortion”,
sehingga menyebabkan stabilitas, kohesi dan identitas bentuk-bentuk
murni terganggu.
DEKONSTRUKSI BENTUK ARSITEKTURAL
Dekonstruksi bentuk arsitektural dapat
dilakukan memalui beberapa cara :
- Secara intelektual melalui permainan sistem-sistem geometri yang kompleks dan canggih, seperti banyak dilakukan oleh Peter Eisenmann.
- Secara pragmatis atau mekanik memalui model trial and error, sketsa dan eksperimental lapangan, seperti dilakukan oleh Frank Gehry, Zaha Hadid dan Coop Himmelblau.
- Secara intuitif melalui pengembangan respond dan impulse kreatif dalam diri arsitek, seperti terjadi pada Rem Koolhaas dan OMA.
DEKONSTRUKSI STRUKTUR
Dekonstruksi struktur umumnya dilakukan
memalui metoda pragmatis trial
and error dan dibedakan sebagai berikut :
- Dekonstruksi Konstruksi Massa, seperti pada “Choral Work” karya Eisenmann dan Derrida.
- Dekonstruksi Konstruksi Bidang, seperti pada “Best Products” karya James Wines dan SITE atau “Berlin Museum” karya Libeskind.
- Dekonstruksi Konstruksi Rangka, seperti pada karya-karya Coop Himmelblau.
- Dekonstruksi Konstruksi Kulit, yang masih jarang ditemukan sebagai karya Dekonstruksi kulit murni.
V. P R O S P E K
Dekonstruksi dalam arsitektur, seperti
diungkapkan oleh Wigley dan Eisenmann, seharusnya memberikan kesan
alienasi, mencekam dan menakutkan sehingga menimbulkan rasa risi dan
antipati. Namun dilihat dari sambutan simpatik yang diperoleh di
sekolah-sekolah arsitektur terutama di Amerika, dapat disimpulkan
bahwa misi Dekonstruksi sebagai estetika teroris dan subversif telah
mengalami kegagalan. Dekonstruksi tidak kuasa menghindarkan diri
menjadi “fashionable” atau lebih buruk lagi tergelincir
sebagai “fad”.
Niat Dekonstruksi untuk merayakan “the death of the author”
juga tidak tercapai. Pendewaan
atau penyanjungan tokoh-tokoh Dekonstruksi justru menunjukkan pesta
pora atas kehadiran mereka.
Tak seorangpun tahu ke arah mana
Dekonstruksi akan berkembang. Satu saat barangkali Dekonstruksi akan
surut dari manifestasi fisik yang kehadirannya kita amati sekarang,
untuk kembali kepada akar-akar filsafatnya yang semula. Atau
barangkali justru akan tampil sebagai kritik arsitektur dan urbanisme
konteporer yang sangat handal dan berguna.
Namun fakta telah menunjukkan bahwa
karya Dekonstruksi banyak yang berhenti sebagai gambar saja, tidak
terealisasi dalam bentuk bangunan.7
Hal ini disebabkan oleh karakteristik Dekonstruksi yang tidak peduli
terhadap konteks sosial, politik, bahkan lingkungan fisik yang ada di
sekitarnya.
Gambar-gambar proyek Dekonstruksi yang
centang perentang telah berhasil menarik perhatian para dosen dan
mahasiswa arsitektur, namun seringkali gagal menyakinkan Klein,
investor dan para pejabat pemerintahan.
Di samping itu, pamor Dekonstruksi dalam
bidang kritik literatur terutama di Amerika Serikat telah mulai
memudar, tergeser oleh gerakkan yang disebut “The New
Historicism” yang mencoba memposisikan literatur dalam konteks
sosial ekonomi yang lebih luas. Menurutnya minat terhadap
Dekonstruksi juga tercermin dari jumlah publikasi dalam
jurnal-jurnal ilmiah. Kondisi tersebut diperburuk oleh skandal yang
cukup mengguncang masyarakat akademik Amerika, berkaitan dengan
biography almarhum Paul de Man. Tokoh otoritatif dalam kritik
Dekonstruksi dari Yale University tersebut mendapat tuduhan bahwa ia
memasa mudanya di Belgia banyak menerbitkan article surat kabar yang
memberikan dukungan simpatik terhadap gerakan Nazi.
Barangkali pengamat David Lodge benar,
bahwa para arsitek berebut naik ke atas kereta Dekonstruksi,
sementara para kritikus literatur beramai-ramai mulai melompat turun
dari kereta tersebut dan meninggalkan para arsitek
terbengong-bengong.8
Akhirnya para arsitek akan sampai pada titik kesadaran, bahwa :
“ Deconstruction is but one more
range of meaning for the semantic market”.9
|
Frank Gehry,California Aerospace Museum,di Los Angeles, Amerika Serikat, dibangun sebagai tambahan dari kompleks museum di Exposition Park pada masa Olympiade tahun 1984.Bentuk volume ruangan-ruangan menyudut diletakkan di bagian muka bangunan lama sehingga menciptakan “hubungan tak jelas” antara keduanya, dimana terdapat pintu masuk yang tersembunyi. Sebuah pesawat F-104 mencuat keluar dari bagian muka bangunan. |
|
Site PlanThe Museum Contemporary ArtBarcelona (19 )Richard Meier |
Pandangan Terhadap Gejala Dekonstruksi
DEKONSTRUKSI, ARSITEKTUR
Dan
MASALAHNYA
Suatu
cartoon dalam buku The Reasoning Architect menampilkan seorang pria
yang sedang meminta penjelasan pada teman sejawat wanitanya. Sang
pria bertanya, “Bolehkan say ajukan pertanyaan yang konfidensial
dan mungkin agak memalukan?” Sang wanita menjawab,”Silakan!”
Lalu sang pria bertanya,” Apa tepatnya deconstructivism itu?”.
“Itu adalah sesuatu yang muncul setelah Post-Modernism,” Jawab
perempuan itu yang kemudian melanjutkan,” Dan prinsip utama
deconstructivism adalah begitu anda mengerti apa dia itu, begitu pula
dia (yang telah memahami) berhenti menjadi deconstructivism.”
Karena masih ingin tahu lebih banyak, pria itu bertanya lagi, “
Apakah ada hubungan dengan lattice dan bata kaca?” Temannya
menjawab,” Hanya sejauh kamu memakainya dalam cara menantang
prakonsepimu tentang lattice dan bata kaca. Apakah ada lagi yang
ingin anda tanyakan?” . Karena semakin binggung sang pria
menyatakan,” Saya pikir lebih baik saya menunggu saja sampai ada
post-deconstructivism.” Temannya menjawab,” Orang lain juga
menunggu hal yang sama.”
DEKONSTRUKSI
Dekonstruksi adalah suatu konsep
yang amat sulit kita pahami. Sedemikian
sulitnya sehingga pencetus istilah Jacques Derrida pun tak ingin
mendifinisikannya. Dia tegar untuk tidak mengambil sikap (dalam
kaitan membuat kesimpulan) dan hal tersebut kurang berkenan di dalam
hati rekan-rekannya yang sudah gandrung dengan kepastian sikap. Tapi
mungkin itu hakikat dekonstruksi yang bila kita pastikan, dia akan
binasa. Bila para pakar yang berada dalam dunia budaya kritik di
Barat saja sulit memahaminya, apakah kita yang berada dalam kondisi
budaya lain yang tak selalu berbudaya berpikir seperti mereka justru
mudah memahami konsep tersebut? Tulisan ini sekedar menambah
pandangan terhadap gejala deconstruction,
pembaca sebaiknya juga membandingkannya dengan tulisan-tulisan
lain dari pakar Indonesia agar mendapatkan masukan lebih dan silang
pandangan.
Untuk mencoba mendekati deconstruction
(mungkin tak seorangpun berani mengaku mengerti betul
konsep ini selain pencetusnya Jacques Derrida), saya menampilkan
cerita kain kerawang. Baju kerawang orang Gorontalo terkenal karena
kejelian pembuat baju yang berhasil ‘bongkar’
rajutan benang - benang dari kain asli untuk kemudian menyusun pola
baru di dalam kerangka bongkaran tersebut. Dari upaya tersebut
pembuatnya berhasil meng’hadir’kan ungkapan baru dari bahan biasa
sehingga bongkaran tersebut tidak lagi ber’bekas’ karena telah
menyatu di dalam konteks baru.
Pembuat kain kerawang telah memperlihatkan sisi
lain dari sebuah rajutan yang kekuatannya selama ini telah
ter’tindas’ oleh kain yang serba sempurna. Dengan demikian
ke’hadir’an kain sempurna telah tertunda. Ke’hadir’an
kerawang justru memantapkan kekuatan dan kesempurnaan kain asli.
Kain asli menjadi ‘bekas’ dari suatu kehadiran kerawang.
Sedangkan kerawang merupakan suatu “retakan” dari kain
asli yang tumbuh darinya. Kerawang kemudian menjadi ‘tanda’
baru yang memberi indikasi bahwa dirinya juga suatu saat dapat
dibongkar.
|
Kain
Kerawang dari Sulawesi Utara
|
Dalam proses mengerawang (yang murni), tidak ada
tambahan benang dari luar, tidak terdapat pasakan dari luar, dan
semua bahan terdapat dari kain semula. Dalam hal ini kita dapat
menafsirkan bahwa yang terjadi adalah suatu kehadiran diri dalam
bentuk yang sama. Jadi, tindakan mengerawang adalah suatu upaya
mengukuhkan kehadiran, bukan merusak atau menghancurkan yang sudah
ada. Kerawang hanya ada arti di dalam konteks kain asli yang pada
gilirannya menemukan arti baru bersama-sama kerawang. Kerawang dalam
hal ini adalah “jejak”
atau “bekas”
bagi penemuan hakikat rajutan suatu kain asli, dia menjadi “tanda”
dan yang di”hadir”kannya adalah suatu makna yang lebih luas.
Dengan perhatian yang sebelumnya berada di samping telah
menjadi pusat
(perhatian). Bila proses tersebut terus berlanjut maka kita menemukan
suatu strategi yang dekat dengan deconstruction.
Upaya membongkar rajutan dan kemudian menyusun
kembali dengan penampilan dan makna baru tersebut, dalam batas
tertentu, memenuhi tindakan deconstruction.
Upaya tersebut untuk menterjemahkan arti teks yang tak terjemahkan
sebelumnya. Untuk itu perlu strategi baru dengan membongkar teks,
menyusun kembali yang dibongkar, dan menghadirkan susunan baru dalam
konteks-konteks yang ada bersama-sama bongkarannya agar memperhatikan
sesuatu yang tadinya tak terungkap atau tertindih, dan dengan
demikian sekaligus menampilkan kehadiran yang tertunda tersebut.
Proses bongkar susun lebih bersifat dari dalam, dari unsur-unsur yang
ada, bukan tambahan maka hasilnya adalah suatu “pengukuhan”
terhadap ke”hadir”an asli. Strategi demikian adalah
deconstruction.
Namun dalam kasus kain kerawang, pembuat kain kerawang
tidak secara sadar menterjemahkan teks. Mereka menuju kesuatu cara
membongkar yang obyeknya tidak perlu diterjemahkan seperti aturan
bahasa tersebut. Mereka menghasilkan pola lengkap yang selesai agar
para pembeli tertarik untuk membeli. Keadaan selesai itulah oleh
mereka yang gandrung dengan deconstruction
mungkin tidak dianggap sebuah tindakan deconstruction.
Sebab deconstruction
adalah suatu upaya yang berjalan terus-menerus,
bergejolak antara benda dan antagonisnya yang terdapat di dalam
dirinya.
STRATEGI DEKONSTRUKSI
Deconstruction
sebagai suatu strategi, penjelajahan yang hadir menantang
permasalahan yang timbul dalam metafisik Barat. Sejak orang Yunani
kuno mempermasalahkan ucapan dan tulisan, telah terjadi ketidak
taatan azas. Socrates yang tidak ingin menurunkan tulisan konon juga
dikarenakan keunggulan tuturan dari pada tulisan. Namun demikian
proposisi-proposisinya selalu disusun atas suatu hasil benturan
antara sesuatu dengan kebalikannya. Ketidak taat asas telah mulai
sejak logos mereka alih artikan menjadi bahasa (tuturan) dan pikiran.
Hal tersebut lebih kentara, menurut Derrida dalam pernyataan
Aristotle yang menyamakan bunyi dan pikiran kemudian diganti oleh
tulisan. Tulisan tidak memiliki daya pencapaian pikiran seperti
ucapan. Dengan demikian terjadi logosentrism dan
phonocentrism. Hal tersebut menjadi dasar penjelajahan Martin
Heidegger, salah satu tokoh yang berpengaruh terhadap Derrida akan
metafisik Barat. Keberatan Heidegger terhadap logos10
menghasilkan bahwa kata tersebut berasal dari kata kerja Bahasa
Yunani yang berarti berkumpul, mengambil, meletakkan (beberan)
bersama. Kemudian arti logos berkembang mencakup menghitung lagi,
mengutarakan ucapan dan bicara. Jadi menterjemahkan logos sebagai
‘alasan’, ’pikiran’, dan ‘ucapan’ saja
belumlah cukup bagi Heidegger. Dia menganggap logos mengandung
sesuatu yang akan dinyatakan atau sesuatu yang terkandung dalam
ucapan tersebut. Logos, dengan demikian menunjuk pada
membiarkan sesuatu bertutur, dia menyiapkan kondisi, bagaikan
pembeberan (tafsiran saya) yang siap mengungkapkan aturan, pilahan
dan siap untuk menuju sesuatu. Menuju pembentukan kata adalah
penyelidikan Husserl terhadap logos. Posisi Husserl itulah
yang ditantang oleh Derrida. Menurut Derrida, sejak ‘alasan’
tidak melatarkan diri, maka penjelasan diri dari ‘alasan’ bukan
kegiatan rasional murni.
Frank Gehry,State of California Aerospace Museum,(1982-1984)Santa Monica, Los Angles, USADikenal sebagaiArsitektur DekonstruksiPertama.Yang kemudian di ikuti olehkarya-karya arsitek Avant Garde lainnya seperti: Bernard Tschumi, Daniel Libeskind, Zaha Hadid,Coop Himmelblau dan Rem Koolhaas. |
Sejak ranah penjelajahan metafisik Barat terpusat
pada konsep ‘ada’
dan ‘ada’
kemudian dinyatakan dalam ‘hadir’
di situ pula timbul kerancuan. Pertama terhadap kenyataan ‘ada’
itu dari mana dan ‘hadir’ itu untuk apa dan siapa. Jawaban
Husserl yang transcendental tidak memuaskan para muridnya.
Murid-muridnya tersebut termasuk Heidegger, lebih dapat menerima
bahwa ‘hadir’
tidak untuk yang mutlak melainkan bagi dirinya sendiri. Mereka
kemudian mengambil tantangan itu ke jalan masing-masing. Bagi Derrida
‘hadir’
itu adalah melalui ‘tanda’. “Tanda”
mewakili sesuatu yang tidak, belum, atau tertunda untuk hadir. Dengan
demikian tanda mendahului kehadiran. Tanda mewakili benda yang akan
dihadirkannya dan oleh sebab itu dia tidak mewakili dirinya. Karena
dia menunjuk, maka tanda tidak dapat hadir untuk dirinya, dia
menunjuk ke tanda-tanda lain dan oleh sebab itu hadir dalam jaringan
yang disebut teks. Hanya dalam teks itulah tanda memiliki arti.
Arti atau makna ialah sesuatu yang hendak
mengatakan, tetapi belum mengatakan atau tertunda mengatakannya.
Derrida memahami tanda sebagai “jejak” atau
“bekas” (trace)
yang memberi indikasi untuk menuju pada “hadir” dan oleh sebab
itu “ada”. Hubungan tanda dengan indikasi, dan jejak dengan
indikasi mungkin mendekatkan konsep Derrida tentang “jejak
mengantikan tanda”. Hal tersebut mungkin dia lakukan agar dapat
memasukkan strateginya ke dalam alam penjelajahan yang tidak mungkin
terdifinisikan.
Kita ambil saja misalnya konsep jejak, Derrida
menganggap jejak itu bukan suatu substansi atau sesuatu yang memiliki
bobot. Bekas hanya menunjuk, memberi indikasi dan oleh sebab itu
tidak mungkin hadir untuk dirinya sendiri. Indikasi-indikasi
membentuk jaringan, bila jejak dihapus maka hadir juga terhapus.
Bekas mendahului obyek (nya) dan merupakan penyebab daripada sebuah
akibat.
Para kritikus ada yang menganggap uraian dan
penafsiran Derrida adalah terhadap tulisan filosof-filosof Barat
sebelumnya, untuk kemudian dari situ beliau menghasilkan strategi
deconstruction,
suatu hal yang perlu dipuji. Namun sebagian kritikus menganggap bahwa
penafsiran Derrida terhadap tulisan Husserl, Aristotle dan de
Saussure sebagai hasil dari pemaksaan gagasan tentang kerancuan di
atas karya-karya tokoh-tokoh tersebut. Dengan demikian timbul
keraguan terhadap ketepatan penafsirannya. Dan bila hal tersebut
benar, maka seluruh konsepsi tentang deconstruction
dengan sendirinya goyah.
Dengan mengutamakan tanda, bekas dan teks, Derrida
memutar balik perhatian yang selama ini mengunggulkan Logosentris
(tautannya, Phonosentris) menjadi mengutamakan tulisan yang diatur
oleh tata bahasa atau Grammar. Karena sekarang teks telah
menjadi penting, bukan lagi tuturan atau ucapan. Oleh sebab itu
Grammatologi perlu hadir memperkuat bahasa tulisan, meskipun logisnya
tetap hadir.
Dalam melakukan strategi deconstruction
Derrida perlu konsep-konsep baru, antara
konsep-konsep baru tersebut terdapat konsep differance11.
Konsep tersebut adalah ciptaan Derrida yang menyangkal bahwa istilah
itu sebuah kata. Oleh sebab itu meski kata tersebut hadir dalam wujud
sebuah kata, dia masih berada dalam tingkat suatu konsepsi daripada
suatu konsep. Differance lebih merupakan suatu syarat
bagi pembentukan konsep, dan seperti jejak, dia tidak “hadir”.
Yang “hadir” adalah kata difference yang berarti berbeda,
dan differer yang memiliki 2 (dua) arti: yang pertama sebagai
kata kerja intransitif berarti berbeda, bertolak belakang dan tidak
sama; dan sebagai kata kerja transitif berarti menunda, menangguhkan
dan mengundurkan waktu. Differance mencakup arti keduanya dan
oleh sebab itu dia sebenarnya tidak ada. Bila dia kita anggap ada,
maka tercerai berailah dia dalam kehadiran, dan hal itu tidak mungkin
karena dia berputar dalam beberapa pengertian.
Differance bertindak menemporalisasi teks
dan mengabung ruang (perantara) antar teks. Teks yang hadir adalah
berkat peran differance. Differance “menunjuk” pada
apa yang “menunda” kehadiran, dalam hal ini dia berlaku memainkan
tanda, jejak, dan bekas. Differance12
adalah suatu kegiatan pembedaan, yang terutama terdapat dalam sifat
yang bertolak belakang dari apa yang ingin dibedakannya. Dalam hal
ini dia adalah akar bersama dari berbagai konsep yang saling
berlawanan. Differance adalah hasil dari semua perbedaan yang
menjadi syarat pemunculan semua arti dan susunan. Differance
memperlihatkan proses perbedaan antara ada dan adaan, suatu kegiatan
yang masih terus dalam pembentukan, dan belum selesai. Perbedaan
difference dan differance tampil hanya bila kita tulis, bukan
diejakan karena ejaannya dalam bahasa Perancis sama. Hal itu mungkin
merupakan permainan Derrida yang mengunggulkan tulisan.
WAWASAN BARAT DAN TIMUR
Dalam metafisik Barat, pertentangan sering dipakai
untuk menjelaskan keadaan. Sifat berlawanan akan menonjolkan sifat
sesuatu yang dipertentangkan. ‘Hadir’ itu menonjol bila
dipertentangkan dengan ‘tidak hadir’ demikian pula identitas dan
realitas, ekspresi dan indikasi, dalam dan luar. Derrida juga tidak
melepaskan diri dari tradisi tersebut. Namun hal yang dia ajukan
merupakan sesuatu yang bergerak mencari di antara hal-hal yang
berlawanan. Dan yang menjalankan tugas tersebut adalah differance
. Kesulitan memandang sifat-sifat benda yang mengandung unsur
antagonistic tidak begitu terasa pada pemikir Timur.
Pemikir Timur banyak yang memilih jalan tengah
sebagai resolusi. Hal tersebut cukup berbeda dari hal tradisi kritis
Barat yang menuntut ketajaman, tanpa kompromi, dan dari antithesis
itu keluar sintesis (dialectic). Sikap Derrida yang membiarkan
konsepsinya terbuka bila kita tinjau dari tradisi Timur, khususnya
Taoisme dan Sufisme, yang selalu melihat kenisbian dan ketertautan
antara unsur-unsur yang saling berlawanan dalam diri lawannya sebagai
warisan, maka sebenarnya tidak terlalu sulit. Mereka memahami silih
berganti sifat dari pengalaman. Tiada sesuatu yang tidak berubah dan
kekekalan adalah perubahan itu termasuk sifat-sifat yang saling
bentrok. Pria memiliki sifat wanita, atau seseorang dikatakan pria
pada saat sifat kepriaannya mengatasi sifat kewanitaannya. Demikian
pula dengan benda-benda alam yang lain dan bahkan konsep-konsep
abstrak. “Ada” tidak tergantung pada kehadirannya yang memiliki
matra waktu dan tempat. Teh misalnya tetap teh dimana-mana, tidak
tergantung pada wadahnya. Hanya kita memahami teh melalui wadah tidak
berarti tidak ada teh.
Beberapa Konsep yang terkandung dalam proses
deconstruction saya kira juga terkandung dalam pemikiran
Timur, hanya tidak tercatat secara eksplisit. Ajaran – ajaran kuno
muncul dalam bentuk yang amat abstrak sehingga perlu selalu ditafsir.
Hal tersebut adalah suatu kekuatan dan mungkin kelemahan juga
bergerak terus dan menunggu penampilannya, atau terjemahan
penampilannya (representasi).
Membiarkan karya tak selesai sempurna juga dapat
kita temukan dalam pernyataan bangunan dan tata letak obyek di dalam
tradisi beberapa daerah di Indonesia. Orang Bali misalnya, yang masih
kuat nilai tradisi kepercayaannya tidak pernah mau menyelesaikan
bangunan – bangunannya dengan sempurna. Dengan demikian selalu
memberi kesempatan menyempurnakannya, mungkin melalui penghayatan dan
penafsiran pengamat. Sikap demikian bisa kita anggap sebagai
penundaan abadi bagi penyempurnaan. Benda hanyalah tanda yang pada
suatu saat binasa dan kembali pada yang memilikinya.
ARSITEKTUR DECONSTRUCTION
DAN MASALAHNYA
Derrida tidak ingin deconstruction menjadi
suatu doktrin atau aliran. Meskipun demikian, dia tidak berupaya
untuk membendung gagasannya yang selalu menarik pengikutnya. Tidak
hanya dalam bidang kritik literatur dan filsafat, tetapi juga di
bidang arsitektur. Dibidang inilah Derrida mendapat pengakuan dari
mereka yang merasa kehilangan pegangan dalam berarsitektur. Melalui
kekuatan ekspresi arsitektur juga dekonstruksi bersemi sebentar.
Pembahasan tentang kaitan arsitektur dan bahasa
dalam tradisi semiotic pernah muncul ke permukaan pada tahun 70 –
80an. Gejala yang kemudian disebut Post-Modern juga oleh Kritikus
Charles Jencks dikaitkan dengan bahasa, pasang surut pembahasan di
sekitar bahasa filsafat, dan arsitektur berjalan terus dan tampaknya
belum akan berhenti. Sebagai benda yang komunikatif, arsitektur
termasuk cepat sekali memberi dampak. Mungkin karena hal tersebut
maka banyak arsitek meminjam kaidah yang berkembang di bidang
linguistic ke dalam penjelasan karyanya. Hal tersebut sebetulnya
menunjukkan kerapuhan arsitektur. Sebaliknya, bidang lain juga
meminjam kekuatan ekspresif arsitektur untuk menjelaskan gejala yang
sedang mereka rembukkan. Di sini kita temukan keunikkan arsitektur.
Di satu pihak disiplin ini telah tercerai berai menjadi begitu banyak
disiplin susulan, di lain pihak, dia menjelajahi ranah-ranah baru dan
bergabung ke dalamnya. Apakah dengan demikian arsitektur kehilangan
pijakan? Ataukah dalam era ini pijakan tidak lagi gayut?
Bagaimana dengan penerapan deconstruction
dalam arsitektur? Bila suatu bangunan kita anggap sebagai jejak, maka
pertama-tama kita perlu menterjemahkannya, karena dia tidak
menunjukkan kehadirannya sendiri, tetapi hanya menunjuk ke sesuatu
yang menyebabkan dia hadir. Dalam hal ini mungkin saja sesuatu yang
asli digunakan untuk kemudian menyusun pola baru di dalam kerangka
bongkaran tersebut. Dari upaya tersebut pembuatnya berhasil
meng”hadir”kan ungkapan baru dari bahan biasa sehingga bongkaran
tersebut tidak lagi ber”bekas” karena telah menyatu di dalam
konteks baru.
|
Pembuat kain kerawang telah memperlihatkan sisi
lain dari sebuah rajutan yang kekuatannya selama ini telah
ter”tindas” oleh kain serba sempurna. Dengan demikian
ke-”hadir”-an kain sempurna telah tertunda. Ke-”hadir”-an
kerawang justru memantapkan kekuatan dan kesempurnaan kain asli.
Kain asli menjadi “bekas” dari suatu kehadiran kerawang.
Sedangkan kerawang adalah suatu “retakan” dari kain asli yang
tumbuh darinya. Kerawang kemudian menjadi “tanda” baru yang
memberi indikasi bahwa dirinya juga suatu saat dapat dibongkar.
Parc
de La Villete, Folie
1986
– 1987
|
Dalam proses mengerawang (yang murni), tidak ada
tambahan benang dari luar, tidak terdapat paksaan dari luar dan semua
bahan berasal dari kain semula. Dalam hal ini kita dapat menafsirkan
bahwa yang terjadi adalah suatu kehadiran diri dalam bentuk yang
sama. Jadi, tindakan mengerawang adalah suatu upaya yang
unsur-unsurnya banyak sekali. Untuk memahami semua itu, kita perlu
melakukan pembongkaran dan kemudian memeriksa segala sesuatu yang
mengandung kontradiksi, kemudian menyusun kembali dan menghadirkan
sesuatu yang baru. Bila sesuatu yang baru itu kembali kita anggap
sebagai bekas, maka upaya pembongkaran tidak akan ada titik hentinya.
Bila kita membaca sebuah denah, kita perlu
membacanya sebagai sesuatu yang menutupi dasarnya yang masih perlu
kita temukan isinya dan menghadirkannya. Dasar tersebutlah yang
menyiapkan diri bagi kehadiran sebuah denah, yang di atasnya akan
berdiri sebuah struktur. Struktur tersebut mendukung struktur
diatasnya. Diri struktur tersebut pada gilirannya juga menutupi
peristiwa-peristiwa sebelum ada kehadirannya yang pada suatu saat
akan menunjukkan kepenemuan denah dan seterusnya. Bila tak ada titik
henti, bagaimana kita dapat menyelesaikan sebuah proyek?
Masalah deconstruction muncul dari pembacaan teks filsafat, bukan dari bangunan. Strategi deconstruction masih mendapat tantangan berat dalam penerapannya di bidang kajian literatur. Keampuhannya masih mengalami pengujian. Bila masalah tersebut berpindah ke arsitektur, maka yang pertama – tama perlu kita tanyakan adalah apakah betul bahwa arsitektur ada masalah ?
Untuk itu kita meninjau sebentar tentang apa yang terjadi di dunia arsitektur terutama di barat beberapa decade ini.
Arsitektur “pasca
modern “ yang semula hadir sebagai tanggapan atas ketidak mampuan
arsitektur modern menjawab program sosial di manca negara pada
akhirnya menemui jalan buntu. Hal tersebut di sebabkan oleh sikap
para perancang yang kurang kreatif yang meski mendapat restu dari
label PM, tetapi menghasilkan klise gaya masa silam di berbagai kota
di atas bumi ini sehingga menjenuhkan citra pengamat terhadap
lingkungan binaan. Praktisi dan pakar arsitektur yang kritis yang
pernah curiga atas sikap eclectic para arsitek PM yang mencemarkan
citra itu semakin yakin bahwa jalan keluar dari kebuntuan yang di
ciptakan oleh arsitektur modern bukanlah dengan sikap semena mena
menghadirkan bentuk. Para arsitek berbakat mencari bentuk – bentuk
baru dengan cara masing – masing.
Di antaranya ada yang
berpaling pada faham yang lebih intelektual, yaitu deconstruction,
yang sebetulnya juga telah mulai di pertanyakan di Eropa, sebagai
penjamin bobot hasil rancangannya. Kebetulan karya beberapa tokoh
yang tersebar di Amerika dan Eropa menunjukkan suatu benang merah
sehingga menarik perhatian para kritikus dan arsitek untuk
membahasnya. Pembahasan pertama yang tercatat terjadi di Tate Museum
pada tahun 1988. Kemudian gejala tersebut menarik perhatian arsitek
tenar Philip Johnson dan Curator museum of Modern Art di New York,
Mark Wigley. Kedua tokoh itu memamerkan karya tujuh arsitek yang di
anggap ada persamaan meski belum tentu sepaham, dengan tema
Deconstructivist Architecture pada tahun 1988 di Museum of
Modern Art, New York, AS. Setelah pameran tersebut, Decon menjadi
garda depan arsitektur. Nama – nama Frank Gehry, Peter Eisenmann,
Bernard Tschumi, Rem Koolhaas, Zaha Hadid, Daniel Libeskind, dan
Himmelblau menjadi buah bibir dalam pertemuan – pertemuan
arsitektur.
|
Salah satu
karya terbaik dari
Coop
Himmelblau, Founder Factory 3
Corinthian,
Austria, 1988-1989
|
Dari tujuh arsitek yang
karyanya masuk dalam pameran, dua yang bekerja sama dengan Derrida
dalam karyanya. Mereka adalah Peter Eisenmann dan Bernard Tschumi.
Dua arsitek ini menghadirkan bangunan yang bagaikan belum selesai
atau masih dalam proses penyelesaian. Citra tersebut mereka bentuk
mungkin untuk taat asas dalam faham ini, paling tidak itu yang
terlihat oleh para pengamat, terlepas dari dalih apapun yang mereka
kemukakan.
Peter Eisenmann telah
lama mengutak – atik bangunan dengan prinsip tata bahasa terutama
dalam tradisi Chomsky. Dengan berpaling ke Derrida mungkin dia
menemukan cara menerobos yang lebih memuaskan. Selain dia juga pernah
di tantang oleh seorang ilmuwan untuk menjawab persoalan masa depan
seperti yang sedang di lakukan oleh ilmuwan. Tantangan tersebut
mendesak pahamnya ke suatu kutub yang belum terjelajahi. Kita
mengetahui bahwa perkembangan ilmu belakangan ini mulai memperhatikan
masalah kalut yang sebelumnya jarang di sentuh oleh ilmuwan klasik.
Sikap menerima kompleksitas sebagai realitas juga mulai meningkat
sesuai dengan fakta dalam kejadian sehari – hari seperti gejala
pasar.
|
|
Upaya Eisenmann dalam menjawab sikap baru tersebut
adalah melalui pembongkaran ke akar – akarnya (hakikat dari apa
yang ingin dia hadirkan) lalu mempertentangkan kutub – kutub yang
berlawanan melalui rumus yang dia jabarkan dari konsep difference.
Hasilnya menantang kita (bila ada waktu dan minat) menafsirkan lebih
lanjut. Proses rancangnya telah selesai dengan kehadiran produk.
Mungkin proses selanjutnya di proyek lain, kita tak pernah tahu.
Bernard Tschumi pada masa di Architectural
Association sering mengutak – atik masalah tata letak, kerangka,
dan program yang pada saat menggandrungi faham Derrida mengalami
“transformasi “ melalui serangkaian “dis “
seperti “ Disprogramming, dislocation yang tentu merupakan
senjata penjelasan agar mendapat pengertian terhadap strateginya.
Tschumi menjelajahi kemungkinan unsur utama arsitektur seperti titik,
garis, dan bidang yang dia pertemukan melalui rangkaian perubahan
tanpa kehilangan hakikat unsur tersebut. Pemakailah seseorang akan
memilih posisinya. Ada keasyikan, namun kita selalu merasakan
dorongan dari gerak, garis, warna, dan perbedaan lapisan bidang
sehingga mata kita perlu senantiasa mengarah ke hijau taman yang
banyak menolong mengistirahatkan mata pengalaman rutin mungkin tidak
menimbulkan masalah. Namun bila yang ruang tersebut mengakomodasikan
kegiatan rutin maka dapat kita bayangkan betapa lelahnya mata kita
menghadapi energy yang begitu melimpah dalam seketika. Sebagai suatu
proses mencari, mungkin deconstruction mengasah otak kita.
Kehadiran beberapa karya deconstruction
menambah keaneka ragaman arsitektur (bila karya tersebut Dapat
kita anggap arsitektur). Namun bila hal tersebut Kita pakai sebagai
dalih untuk mempertahankan diri (dan inilah yang sering kita -
saksikan, terutama dalam sikap tidak perduli terhadap kritik,
semena-mena dan amat sombong) maka deconstruction hanya akan
sampai di kulitnya saja, tanpa suatu dukungan moral sosial. Terlalu
banyak karya yang melelahkan mata kita akan justru mengkumuhkan
lingkungan kita karena ketidakteraturannya kita. Mungkin para
pendukungnya dapat menyamakan situasi demikian dengan kegalutan atau
“chaos” yang sedang melanda dunia ilmu pengetahuan .
Namun kekalutan tersebut Perlu kita pandang sebagai salah satu gejala
alam yang belum tentu harus lebih sering kita hadirkan.
Arsitektur dapat kita alami melalui obyek kasat
mata, begitu pula kita anggap satu tahap telah selesai (produk).
Disitulah timbul masalah, karena bila obyeknya adalah bangunan maka
proses bongkar-pasang tiba-tiba berhenti (memang proses sikap
transformasi diri arsitek berlanjut terus). Apakah ketidak selesaian
yang diperlihatkan oleh dua arsitek diatas sudah cukup? Sang arsitek
tidak ingin menjawabnya, dan yang bertanya dianggap tidak pada
tingkat diskusi, tidak sederajat dengan mereka. Jelas, kecenderungan
mengikuti aliran filsafat semakin menjadi mode hal tersebut.
menandakan betapa labilnya bidang kita ini. Apakah kelabilan adalah
suatu tanda jaman?
AKHIR KATA
Dalam buku Deconstructivist
Architecture, saya tertarik pada sebuah gubuk di Nevada pada 1806
pada halaman ke delapan. Keadaan gubuk tersebut bagaikan runtuhan.
Namun curator menganggap gubuk tersebut memiliki nilai estetik pada
jamannya. Anehnya gubuk tersebut Justru lebih menarik perhatian masa
kini dengan kejelasan unsur yang runtuh dan ruang tak lazim yang
ditimbulkannya.
Retakan dislokasi dan berbagai hal yang cocok
dengan konsep deconstruction dapat kita temukan pada gubuk
itu. Bila gubuk tersebut merupakan suatu contoh bahwa yang amat tak
teratur, dan yang menelanjangkan diri dapat menarik, maka begitu pula
dengan gubuk-gubuk kita yang bertebaran di kampung-kampung kota di
Indonesia. Mereka menampilkan realita kita dan masalah yang kita
hadapi. Anehnya proses penyelesaiannya belum pernah tuntas dan masih
berjalan terus. Apakah kehadiran mereka dapat menyulut inspirasi ?
Saya pikir, menyelesaikan masalah gubuk – gubuk tersebut secara
deconstruction serta mengembalikan harkat mereka yang hidup
dalam lingkungan penuh kejutan itu melalui estetika mungkin jauh
lebih bertanggung Jawab dari pada kita menghabiskan waktu untuk
sesuatu yang hanya menentang mata. Sebaiknya memandang deconstruction
dengan mata yang selalu curiga.
Dalam era ini kita masih banyak pekerjaan rumah,
tapi membiarkan deconstruction menjadi permainan yang
kehilangan substansi akan sangat sayang. Deconstruction masih dalam
proses pengukuhan kembali bahwa salah satu peran besar arsitektur
adalah pembetahkan pemakainya, meski melalui bongkar pasang. Bila
tidak, dia akan berlalu begitu saja sebagai sebuah kenangan. Pahit
atau manis, tidak menjadi soal !
Tonny Setyawan
|
Argultectonica,
Huddon Town Houses, Houston,
Texas, U.S.A
Catatan :
- Garry Steven, The Reasoning Architect: Mathematics and Science in Design, New York: McGraw Hill, 1990, hal. 336. Paparan berikutnya adalah terjemahan bebas penulis.
- Deconstruction mengacu pada sebuah gagasan yang berasal dari Jacques Derrida. Deconstructivism adalah istilah yang muncul dalam dunia arsitektur setelah pameran tenar di MOMA 1988 dengan judul Deconstructivist Architecture. Istilah ‘ivist’ menunjuk pada orang yang bertindak sesuai dengan sesuatu yang mendahuluinya, sedangkan ‘ivism’ mengacu pada paham yang dalam kasus Deconstruction tidak diinginkan oleh penemunya.
- Saya mengamati, dalam bidang arsitektur, Deconstruction telah di bahas oleh beberapa kritikus arsitektur Indonesia dalam beberapa peristiwa sarasehan atau seminar, bahkan media cetak. Sayang sumber yang mereka pakai hampir seluruhnya dari majalah atau journal arsitektur tertentu yang mungkin merupakan sumber sekunder atau bahkan tertier. Jarang sekali ada ulasan kritis terhadap sumber sastra atau filsafat, meski8 beberapa judul mereka cantumkan dalam acuan. Dengan demikian kita tidak mendapatkan paparan tentang tertentu mengenai kondisi apa dekonstruksi itu hadir. Sebagai akibat ulasan yang hadir dalam batas pengamatan belaka, saya cenderung beberapa hasil yang sudah pernah ditampilkan dan disimpulkan oleh seseorang (arsitek) lain. Beberapa tulisan cukup cermat namun, sebagian lagi tidak, bahkan menyesatkan.
- Pengukuhan saya pilih karena lebih dekat dengan konsep affirmation. Lihat Christopher Norris & Andrew Benjamin, What Is Deconstruction, New York; St. Martin, 1988.
- Mengenai ulasan tentang “logos” baca, J. Claude Evans, Strategies of Deconstruction: Derrida and the Myth of the Voice, Minnesota Press, 1991. Dalam logosentrism, ulasan penulis buku tersebut adalah terhadap tulisan Derrida dalam Speech and Phenomenon, memperlihatkan betapa penjelajahan metafisik tersebut menjadi issue central dalam penelaahan filsafat Barat. Namun perlu kita tahu bahwa Evans adalah ahli tentang Edmund Husserl (bapak phenomenology yang pendapatnya dibongkar oleh Derrida) yang amat kritis dan cenderung tidak setuju dengan pendapat Derrida.
- Tentang masalah metafisik, dan seluk beluk timbulnya Deconstruction, saya anjurkan pembaca yang baru bersinggungan dengan issue ini membaca buku K. Bertens, Filsafat Barat abad XX, Jilid 1 dan 2, Jakarta, Gramedia, 1984. Tanpa pengantar ringkas dan jelas kita sulit menelusuri konteks timbulnya konsep tersebut.
- Banyak penulis yang menganggap Derrida melanjutkan tradisi bahwa bahasa lisan lebih kuat penyampaian pesannya daripada bahasa tulisan. Saya ragu bila Derrida mengutamakan ucapan karena hal itulah yang ingin dia bongkar, mengantikan logosentrism yang mengutamakan kekuatan ucapan dengan Grammatology yang kuat memalui tulisan
- Untuk seluk beluk differance, sebaiknya baca teks Jacques Derrida, ‘Difference’, diringkas oleh Mark Taylor dalam buku suntingannya, Deconstruction in Context: Literature and Philosophy. Chicago: University of Chicago Press, 1986, hal. 396-420. Lihat dan bandingkan juga, Bertens, op.cit. Hal 500-501. Baca juga tulisan Bagoes P. Wiryomartono, Deconstruction dan Seni Bangunan. Suatu makalah yang disampaikan dalam acara Seminar Arsitektur Dekonstruksi di Jakarta Design Center pada 4 Juni 1994.
- Eisenmann dan Tschumi menurut kritikus Jencks, misalnya telah menghianati paham tersebut. Deconstruction yang anti kemapanan telah menjadi mapan atau merintis suatu aliran, Tschumi menduduki posisi sebagai Dekan di Columbia University juga dianggap suatu kemapanan yang semestinya ditentangnya. Eisenmann telah secara terus menerus menghasilkan suatu gaya yang dapat diikuti dan oleh sebab itu di anggap ‘fashionable’ (Deconstruction, Omnibus edition, London: Academy, 1989). Namun dalam paham Deconstruction, tidak ada sesuatu yang menjadi doktrin, karena doktrin itu akan terbongkar, atau terdeconstruct
- Naom Chomsky, ahli linguistic di MIT, merintis ‘grammar-transformational’ sebagai pelengkap dari ‘grammar-generatif’ yang melalui serangkaian rumus menghasilkan (hanya) kalimat suatu bahasa. Analysis syntaksnya amat terkenal dan sempat mempengaruhi pemikiran Eisenmann sampai menghasilkan rumah-rumah berseri. Untuk lebih lanjutnya mengenai karya Chomsky lihat, Aspect of Theory of Syntax. Terbitan Cambridge, Massachusetts MIT press, 1965.
1
Benedict, Michael (1991), Deconstruction The Kimball : An Essay
on meaning and Architecture , New York: Sites
Books.
4
Jencks, Charles (1988)
“The Architecture of Deconstruction :
The Pleasure of Absence”
dalam Architecture Today, London : Academy
Editions, h. 250-269.
5
Johnson, Philip & Wigley, Mark (1988)
Deconstructivist Architecture, New
York
The Museum of Modern Art.
6
Lodge, David (1989)
“Deconstruction: A Review of The Tate
Gallery Symposium”
dalam Papadakis, Andreas C (1989),
Contemporary Architecture, h. 88 - 90
7
Noever, Peter (ed.) (1991)
Architecture in Transition : Between
Deconstruction and New Modernism,
Munich: Prestel.
10
J. Claude Evans, Strategies of Deconstruction:
Derrida and the Myth of the Voice, Minnesota Press, 1991
11
Jacques Derrida, ‘Difference’, diringkas oleh Mark
Taylor dalam buku suntingannya, Deconstruction in Context:
Literature and Philosophy. Chicago: University of Chicago Press,
1986, hal. 396-420.
12
J. Claude Evans, Strategies of Deconstruction:
Derrida and the Myth of the Voice, Minnesota Press, 1991, hal.
500-501.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar