Wacana mengenai seni bangunan dekonstruktif telah sedemikian luas dan diketahui oleh para pelajar maupun para mahasiswa arsitektur Indonesia. Sekalipun demikian, untuk mendalami masalah sebenarnya yang menjadi pokok pembicaraan masih diperlukan waktu yang lebih intensif. Kesempatan inilah yang digunakan oleh tulisan ini. Mencoba mengkaji dasar pemikiran deconstruction dalam konteks seni bangunan.
Gagasan deconstruction seperti diketahui bukan berasal dari seorang arsitek, tetapi dari pemikir dan kritikus literature, Jacques Derrida. Gagasan ini berpengaruh luas melalui karya-karya Derrida (1921-) sejak terbitnya De la Grammatologie (1976) hingga La verite en peinture (1987). Derrida sudah tentu tidak memperoleh gagasan itu tiba-tiba dari langit biru. Gurunya: Martin Heidegger (1889-1976), pemikir German, telah membukakan jalan untuknya melalui Sein un Zeit (1927). Ketertarikan publik arsitek terhadap karya-karya Derrida berinteraksi dan bekerjasama dengan arsitek Bernard Tschumi dan Peter Eisenmann.
Parc de la Villette
1984
Repro.
|
Secara singkat apa
yang tersirat dan tersurat dalam deconstruction bergerak dalam
nuansa antara gagasan dan metodanya. Rumusan Derrida mengenai
deconstruction tidak pernah secara definitive diperoleh.
Kesulitannya terletak pada phenomenon deconstruction sebagai
gejala “mengada” yang tidak pernah menuju ke arah kebakuan.
|
Derrida
mengatakan bahwa “deconstruction bukan semata-mata metoda kritis”.
Pernyataan ini menunjukkan bahwa metoda kritis yang dimaksud bukan
sesuatu yang baku dan berlaku untuk setiap kasus. Metoda kritis
perlu diartikan memiliki sifat kritis terhadap dirinya sendiri.
Dengan karakteristik seperti ini, deconstruction bukanlah untuk
didefinisikan. Sebab hakikat kritisnya akan hilang bila sudah
dibakukan. Artinya, wilayah jelajah metoda kritis ini tidak hendak
dibatasi dalam konteks filosofi saja. Lebih dari itu, Derrida
menambahkan bahwa “menembus dan menerobos berbagai wilayah disiplin
keilmuan adalah ‘necessities’ dari deconstruction”. Kita
berbicara perlu atau tidak perlu senantiasa berhubungan dengan gejala
“mengada”. Kehadiran sesuatu tidak lepas dari keperluan yang
affirmative. Karena itulah, deconstruction oleh Derrida bukanlah
suatu metoda berpikir yang destructive karena senantiasa membongkar
habis struktur-struktur makna dan bangun suatu konsep. Menurut
Derrida, “sikap deconstruction senantiasa affirmative dan tidak
negatif”, sebab sesuatu yang negatif tidaklah membuka diri pada
pencarian pemahaman lebih utuh.
Kurturston damn, Berlin
Repro.
|
Dalam
kaitannya dengan seni bangunan, “deconstruction
adalah suatu cara untuk mempertanyakan ‘architecture’
dalam filosofi dan barangkali ‘architecture’
sendiri”.
|
Dengan
kapasitas itulah, deconstruction sebenarnya bukanlah suatu
sosok yang bersifat wujud yang terdefinisi ruang dan waktunya. (Baca
Architecture and The Times, 4:31-2, Mies van der Rohe)
Oleh
karena deconstruction sekedar metoda berpikir kritis yang tidak baku,
maka hasilnya bukanlah sesuatu yang bersifat baku pula layaknya
demikian? Bagaimana mungkin suatu wujud arsitektur dekonstruktif
hadir bila karakteristik kritisnya tidak dimilikinya? Derrida mencoba
menjawab pertanyaan itu dengan pernyataan :
“Deconstructive
Architecture… ..adalah
bukan untuk membangun sesuatu yang nyeleneh,
sia-sia, tanpa bisa dihuni, tetapi untuk membebaskan seni bangunan
dari segala keterselesaian yang membelenggu”.
Jika hal itu yang ingin dicapai, sudah
tentu orang akan berteriak keras :
|
Maket Founder
Factory 3,
repro www/nature.net
|
“Lalu
apanya yang baru ditawarkan dan bagaimana sikapnya terhadap tradisi
?” Derrida melanjutkan, ”deconstruction
tidak secara sederhana melupakan masa lalu, tetapi membuat inscripsi
kembali yang melibatkan rasa hormat pada tradisi dalam bentuk
memorial.
“Never is center”, Mies van der Rohe Memorial |
Sudah
tentu keterangan tersebut tidaklah memuaskan, sebab bangunan
dekonstruktif itu hasil dari pendekatan deconstruction
atau apa? Jika metodanya sendiri
senantiasa bergerak dan tidak mencari tujuan lain di luar
perjalanan pemikiran sendiri, bagaimana bangunan dekonstruktif
memang diperlukan? Atau pada hakekatnya, bangunan dekons
|
truktif
hanyalah formalisasi dari keputusasaan para pemikir bangunan dan
masyarakat untuk menyatakan gagasan protes terhadap kemapanan. Tidak
lebih dan tidak kurang akan cenderung anti pada penyelesaian
teoritikal maupun terapan. Derrida menyangkal hal ini “deconstruction
tidak semata-mata teoritikal tetapi juga membina dan membangun
struktur-struktur baru, namun tidak pernah menganggap selesai”.
Jika demikian, persoalannya terletak pada terbukanya
kemungkinan-kemungkinan yang merangsang gagasan-gagasan lainnya.
Dengan kata lain, deconstruction
adalah upaya untuk menawarkan dunia yang tanpa dominasi dan monopoli.
Dengan eksplisit Derrida membuka pengertian bahwa “deconstruction
senantiasa memberikan perhatian pada kelipat gandaan, keanekaragaman,
dan mempertajam keunikan-keunikan yang tak dapat direduksi dari
masing-masing arsitektur”. Dengan pernyataan ini pula, tertutup
kemungkinan bahwa deconstruction
akan membawa pada suatu aliran atau langgam
tertentu bagi seni bangunan. Jadi menurut Derrida, "“deconstruction
menolak secara proposional terhadap apa dan siapa yang
menghubungkannya dengan sesuatu yang spesifik modern atau post
modern”.
Konteks
pembicaraan deconstruction
bermula dari tiga disiplin humaniora :
Ibu
dari pembicaraan ini adalah Literature.
Karena
disini adalah tradisi menggali gagasan-gagasan lebih leluasa
melalui berbagai format : puisi, prosa dan essay.
Sementara
seni bangunan tidak leluasa seperti literature.
|
*)
Follies, Parc de la Villette, Bernard Tschumi, 1983.
|
Kaitan
pragmatisnya dengan kehidupan sehari-hari manusia lebih spesifik dan
membatasi gerak ekspresi gagasan. Sekalipun demikian, bukanlah
halangan untuk popularitas deconstruction
di kalangan para arsitek. Derrida memukau perhatian pelajar seni
bangunan sejak ia diminta oleh Bernard Tschumi dan Peter Eisenman
bekerja sama dalam kompetisi proyek Parc de La Villette di Paris
tahun 1976. Sayembara La Villette-nya kemudian dimenangkan oleh
Tschumi dan dibangun pada tahun 1985. Itulah monument pertama yang
diberi “Deconstructivist Architecture”.
Penyebarluasannya di introduksi oleh Philip Johnson melalui suatu
pameran bersama : Bernard Tschumi, Daniel Libeskind, Peter Eisenman
Zaha Hadid, Frank O. Gehry dan Wolf D. Prix-Helmut Swiczinsky (Coop
Himmelblau) di Museum of Modern Art – New York tahun 1988.
- Coop Himmelblau, Open HouseMalibu, Marquette Model
Pembaca
dan pelajar filsafat tidak asing lagi dengan Edmund Husserl
(1859-1938) dan Martin Heidegger (1889-1976). Tetapi bagi publik
arsitek, nama-nama tersebut hampir tidak pernah terdengar.
Deconstruction –nya
Derrida hampir mendekati gagasan-gagasan Husserl : Abbau
( Logische Untersuchung 1901/2:~11) atau Heidegger : Destruktion
( Sein und Zeit 1927: 19-23). Semua gagasan tersebut bermuara pada
adanya kebutuhan membongkar pasang suatu konsep untuk mengetahui
totalitas seta kaitan-kaitan yang membangun “adanya”. Sudah
tentu, profesi yang sudah sejak jaman batu menekuni bongkar dan
bangun adalah para arsitek, memiliki ketertarikan deconstruction
berangkat dari hakekat bongkar bangun para arsitek ini pula. Apa
sebenarnya hubungan bangunan dan dengan konsep?
Dalam
metoda nya deconstruction
berangkat dari pemikiran kritis Heidegger yang dikenal
‘retrogression’
atau ‘Beginning’.
Cara ini bermaksud untuk meneliti kembali originalities konsep-konsep
sejak Plato, Ariestoteles, Descartes, Kant, Hegel hingga Nietsche.
Dengan cara ini pula akan diketahui bahwa konsep-konsep bukanlah
produk opini, tetapi suatu phenomena yang lahir dari membaca atau
mendengar sesuatu. Derrida mengikuti jalan yang dibuka oleh
Heidegger, sekalipun tidak mempermasalahkan ‘Sein
atau being’ sebagai pemikiran sentralnya.
Retrogresi
bagi Heidegger adalah cara kaji ulang terhadap apa yang dibangun.
Menggiring permasalahan bangun membangun konsep melalui mendengar dan
membaca sesuatu tidaklah sama dengan berpendapat mengenai sesuatu.
Inilah sebenarnya hakekat dan sekaligus titik tolak phenomenology
sebagai metoda filsafat. Bagi para arsitek gerak phenomenology sangat
relevant, karena akan menghasilkan bangunan-bangunan yang mampu
menyerap kemungkinan-kemungkinan di luar kemauan arsiteknya.
Karya
yang dibangun dengan cara dekonstruktif bukanlah suatu pernyataan
ego/pribadi arsitek atau pemikirannya. Sebaliknya, deconstruction
berusaha menghadirkan apa yang didengar dan dibaca oleh arsiteknya.
Dengan pendekatan demikian ini, interplay
antara ‘partai-partai’ yang berkepentingan dengan struktur dan
isi sebuah karya menjadi sentral. Bukan dominasi dari suatu tema yang
subjective; karena datang dari seorang yang berperan sebagai
penguasa. Tema suatu karya dalam konteks deconstruction
lahir dari struktur dan substansi yang spesifik sesuai dengan
kekuatan dan potensi yang dimilikinya. Di sinilah sebenarnya peran
deconstruction dalam
pemikiran seni bangunan di manapun bermakna.
Ajakan
untuk mendengar interplay
antara unsur-unsur serta aspek-aspek yang membentuk suatu bangun
konsep atau fasilitas merupakan langkah strategis bagi
‘deconstruction’.
Strategis sebagai pembebasan diri dari kecenderungan manusia pada
posisi penguasa yang dominan. Pemikiran ini sekaligus merevisi mitos
humanisme Barat sejak Renaissance abad ke-17.
Deconstruction
mencoba keluar dari paradigma pemikiran manusia sebagai “tuan”
semesta. Selanjutnya, mengajak orang untuk lebih banyak mendengar dan
terus menerus berkhotbah tentang apa yang ada di kepala mereka.
Perubahan pemikiran dalam bekarya diperlukan, agar seni sebagai
‘puisi’ tidak
kehilangan hakekatnya. Seperti diketahui, bahwa puisi dari hakekatnya
adalah membuat sesuatu komposisi dari mendengar dan membaca sesuatu.
Komposis yang demikian akan berbeda dengan dari apa yang diinginkan
dan diharapkan. Komposisi yang ditawarkan oleh deconstruction
tampak lebih dekat dengan menghasilkan optimasi interplay
atau dialog unsur-unsur pembentuknya.
Sejauh
manakah sebenarnya kaitan deconstruction
dengan karya-karya bangunannya Frank O. Gehry, Morphosis, Zaha
Hadid, Tschumi, Rem Koolhaas atau Libeskind? Sulit untuk menjawab
pertanyaan - pertanyaan seperti itu, sebab
deconstruction sendiri menolak keterpautan
terhadap ruang dan waktu.
|
Kehadiran
suatu karya dekonstruktif selaknya senantiasa kritis terhadap dunia
yang dihadapinya. Dengan kata lain bukan semata-mata kritik sosial
atau protes demonstratif, tetapi merangsang orang untuk terus menerus
menggali pengetahuan tentang sesuatu. Dari karya-karya mereka
tertarik untuk menggoyahkan sendi-sendi karya yang selama ini menjadi
lambang kemapanan: simetria, harmoni,
tertib-teratur (irama), komunikatif, dan stabil.
Semua prinsip komposisi demikian telah menjadi bahasa perancangan
bangunan yang baku untuk memberikan tempat tinggal manusia di atas
bumi ini. Namun pernyataannya adalah sejauh manakah sebenarnya
deconstruction
mengguncang kemapanan melalui karya yang akhirnya akan mencari
kemapanan baru pula? Jangan-jangan karya-karya yang disebut beberapa
kritisi seni bangunan sebagai arsitektur dekonstruktif itu tak lain
dari cara efektif komunikasi untuk menandai kecenderungan baru. Jadi
sebutan atau label dekonstruktif yang dibubuhkan pada suatu karya
disangsikan ada
kaitannya dengan metoda filsafat atau literatur.
Coop Himmelblau,
Roof Conversion,
Untuk gedung kantor
pengacara di Vienna (1983-1988),
Penyesuaian sudut pada ruang
pertemuan. Dalam tahap penggambaran, perancang telah memikirkan
tentang sambaran kilat yang akan menyambar-nyambar dan
merundukkan bangunan.
Menciptakan postur
merunduk dengan rangka ‘tulang belakang’ dari baja.
repro.Ton’s
production
REFERENSI:
Karya-karya Jacques Derrida
- De la Grammatologie, Paris 1967, diterjemahkan oleh Gayatri C. Spivak:Of Grammatology, Chicago 1976.
- Marges de la Philosophie, Paris 1972, diterjemah oleh Ullstein Buch; Randgange der Philosophie 1976
- La Carte postale: de Socrates a Freud et au-dela, Paris 1980
- Position diterjemahkan oleh Allan Bass, Chicago 1981
Karya-karya
Martin Heidegger
- Sein und Zeit, Tubigen, 1927
- Denkerfahrungen, Frankfurt 1983
Tidak ada komentar:
Posting Komentar