Cari Blog Ini

Sabtu, 08 Oktober 2011

Seni Bangunan Dekonstruksi : Mengada-ada atau Perlu Ada?


Wacana mengenai seni bangunan dekonstruktif telah sedemikian luas dan diketahui oleh para pelajar maupun para mahasiswa arsitektur Indonesia. Sekalipun demikian, untuk mendalami masalah sebenarnya yang menjadi pokok pembicaraan masih diperlukan waktu yang lebih intensif. Kesempatan inilah yang digunakan oleh tulisan ini. Mencoba mengkaji dasar pemikiran deconstruction dalam konteks seni bangunan. 

Gagasan deconstruction seperti diketahui bukan berasal dari seorang arsitek, tetapi dari pemikir dan kritikus literature, Jacques Derrida. Gagasan ini berpengaruh luas melalui karya-karya Derrida (1921-) sejak terbitnya De la Grammatologie (1976) hingga La verite en peinture (1987). Derrida sudah tentu tidak memperoleh gagasan itu tiba-tiba dari langit biru. Gurunya: Martin Heidegger (1889-1976), pemikir German, telah membukakan jalan untuknya melalui Sein un Zeit (1927). Ketertarikan publik arsitek terhadap karya-karya Derrida berinteraksi dan bekerjasama dengan arsitek Bernard Tschumi dan Peter Eisenmann.

 Parc de la Villette 1984
Repro.
Secara singkat apa yang tersirat dan tersurat dalam deconstruction bergerak dalam nuansa antara gagasan dan metodanya. Rumusan Derrida mengenai deconstruction tidak pernah secara definitive diperoleh. Kesulitannya terletak pada phenomenon deconstruction sebagai gejala “mengada” yang tidak pernah menuju ke arah kebakuan.


Derrida mengatakan bahwa “deconstruction bukan semata-mata metoda kritis”. Pernyataan ini menunjukkan bahwa metoda kritis yang dimaksud bukan sesuatu yang baku dan berlaku untuk setiap kasus. Metoda kritis perlu diartikan memiliki sifat kritis terhadap dirinya sendiri. Dengan karakteristik seperti ini, deconstruction bukanlah untuk didefinisikan. Sebab hakikat kritisnya akan hilang bila sudah dibakukan. Artinya, wilayah jelajah metoda kritis ini tidak hendak dibatasi dalam konteks filosofi saja. Lebih dari itu, Derrida menambahkan bahwa “menembus dan menerobos berbagai wilayah disiplin keilmuan adalah ‘necessities’ dari deconstruction”. Kita berbicara perlu atau tidak perlu senantiasa berhubungan dengan gejala “mengada”. Kehadiran sesuatu tidak lepas dari keperluan yang affirmative. Karena itulah, deconstruction oleh Derrida bukanlah suatu metoda berpikir yang destructive karena senantiasa membongkar habis struktur-struktur makna dan bangun suatu konsep. Menurut Derrida, “sikap deconstruction senantiasa affirmative dan tidak negatif”, sebab sesuatu yang negatif tidaklah membuka diri pada pencarian pemahaman lebih utuh.
 








Kurturston damn, Berlin
Repro.

Dalam kaitannya dengan seni bangunan, “deconstruction adalah suatu cara untuk mempertanyakan ‘architecture’ dalam filosofi dan barangkali ‘architecture’ sendiri”.





Dengan kapasitas itulah, deconstruction sebenarnya bukanlah suatu sosok yang bersifat wujud yang terdefinisi ruang dan waktunya. (Baca Architecture and The Times, 4:31-2, Mies van der Rohe)

Oleh karena deconstruction sekedar metoda berpikir kritis yang tidak baku, maka hasilnya bukanlah sesuatu yang bersifat baku pula layaknya demikian? Bagaimana mungkin suatu wujud arsitektur dekonstruktif hadir bila karakteristik kritisnya tidak dimilikinya? Derrida mencoba menjawab pertanyaan itu dengan pernyataan :

Deconstructive Architecture… ..adalah bukan untuk membangun sesuatu yang nyeleneh, sia-sia, tanpa bisa dihuni, tetapi untuk membebaskan seni bangunan dari segala keterselesaian yang membelenggu”. Jika hal itu yang ingin dicapai, sudah tentu orang akan berteriak keras :

 Maket Founder Factory 3, repro www/nature.net
Lalu apanya yang baru ditawarkan dan bagaimana sikapnya terhadap tradisi ?” Derrida melanjutkan, ”deconstruction tidak secara sederhana melupakan masa lalu, tetapi membuat inscripsi kembali yang melibatkan rasa hormat pada tradisi dalam bentuk memorial.

“Never is center”, Mies van der Rohe Memorial

Sudah tentu keterangan tersebut tidaklah memuaskan, sebab bangunan dekonstruktif itu hasil dari pendekatan deconstruction atau apa? Jika metodanya sendiri senantiasa bergerak dan tidak mencari tujuan lain di luar perjalanan pemikiran sendiri, bagaimana bangunan dekonstruktif memang diperlukan? Atau pada hakekatnya, bangunan dekons

truktif hanyalah formalisasi dari keputusasaan para pemikir bangunan dan masyarakat untuk menyatakan gagasan protes terhadap kemapanan. Tidak lebih dan tidak kurang akan cenderung anti pada penyelesaian teoritikal maupun terapan. Derrida menyangkal hal ini “deconstruction tidak semata-mata teoritikal tetapi juga membina dan membangun struktur-struktur baru, namun tidak pernah menganggap selesai”. Jika demikian, persoalannya terletak pada terbukanya kemungkinan-kemungkinan yang merangsang gagasan-gagasan lainnya. Dengan kata lain, deconstruction adalah upaya untuk menawarkan dunia yang tanpa dominasi dan monopoli. Dengan eksplisit Derrida membuka pengertian bahwa “deconstruction senantiasa memberikan perhatian pada kelipat gandaan, keanekaragaman, dan mempertajam keunikan-keunikan yang tak dapat direduksi dari masing-masing arsitektur”. Dengan pernyataan ini pula, tertutup kemungkinan bahwa deconstruction akan membawa pada suatu aliran atau langgam tertentu bagi seni bangunan. Jadi menurut Derrida, "“deconstruction menolak secara proposional terhadap apa dan siapa yang menghubungkannya dengan sesuatu yang spesifik modern atau post modern”.

Konteks pembicaraan deconstruction bermula dari tiga disiplin humaniora :
  1. Literature,
  2. Filsafat, dan
  3. Seni (termasuk seni bangunan).
Ibu dari pembicaraan ini adalah Literature.
Karena disini adalah tradisi menggali gagasan-gagasan lebih leluasa melalui berbagai format : puisi, prosa dan essay.
Sementara seni bangunan tidak leluasa seperti literature.
 
 *) Follies, Parc de la Villette, Bernard Tschumi, 1983.

Kaitan pragmatisnya dengan kehidupan sehari-hari manusia lebih spesifik dan membatasi gerak ekspresi gagasan. Sekalipun demikian, bukanlah halangan untuk popularitas deconstruction di kalangan para arsitek. Derrida memukau perhatian pelajar seni bangunan sejak ia diminta oleh Bernard Tschumi dan Peter Eisenman bekerja sama dalam kompetisi proyek Parc de La Villette di Paris tahun 1976. Sayembara La Villette-nya kemudian dimenangkan oleh Tschumi dan dibangun pada tahun 1985. Itulah monument pertama yang diberi “Deconstructivist Architecture”. Penyebarluasannya di introduksi oleh Philip Johnson melalui suatu pameran bersama : Bernard Tschumi, Daniel Libeskind, Peter Eisenman Zaha Hadid, Frank O. Gehry dan Wolf D. Prix-Helmut Swiczinsky (Coop Himmelblau) di Museum of Modern Art – New York tahun 1988.
Coop Himmelblau, Open House
Malibu, Marquette Model
Pembaca dan pelajar filsafat tidak asing lagi dengan Edmund Husserl (1859-1938) dan Martin Heidegger (1889-1976). Tetapi bagi publik arsitek, nama-nama tersebut hampir tidak pernah terdengar. Deconstruction –nya Derrida hampir mendekati gagasan-gagasan Husserl : Abbau ( Logische Untersuchung 1901/2:~11) atau Heidegger : Destruktion ( Sein und Zeit 1927: 19-23). Semua gagasan tersebut bermuara pada adanya kebutuhan membongkar pasang suatu konsep untuk mengetahui totalitas seta kaitan-kaitan yang membangun “adanya”. Sudah tentu, profesi yang sudah sejak jaman batu menekuni bongkar dan bangun adalah para arsitek, memiliki ketertarikan deconstruction berangkat dari hakekat bongkar bangun para arsitek ini pula. Apa sebenarnya hubungan bangunan dan dengan konsep?
Dalam metoda nya deconstruction berangkat dari pemikiran kritis Heidegger yang dikenal ‘retrogression’ atau ‘Beginning’. Cara ini bermaksud untuk meneliti kembali originalities konsep-konsep sejak Plato, Ariestoteles, Descartes, Kant, Hegel hingga Nietsche. Dengan cara ini pula akan diketahui bahwa konsep-konsep bukanlah produk opini, tetapi suatu phenomena yang lahir dari membaca atau mendengar sesuatu. Derrida mengikuti jalan yang dibuka oleh Heidegger, sekalipun tidak mempermasalahkan ‘Sein atau being’ sebagai pemikiran sentralnya.
Retrogresi bagi Heidegger adalah cara kaji ulang terhadap apa yang dibangun. Menggiring permasalahan bangun membangun konsep melalui mendengar dan membaca sesuatu tidaklah sama dengan berpendapat mengenai sesuatu. Inilah sebenarnya hakekat dan sekaligus titik tolak phenomenology sebagai metoda filsafat. Bagi para arsitek gerak phenomenology sangat relevant, karena akan menghasilkan bangunan-bangunan yang mampu menyerap kemungkinan-kemungkinan di luar kemauan arsiteknya.
Karya yang dibangun dengan cara dekonstruktif bukanlah suatu pernyataan ego/pribadi arsitek atau pemikirannya. Sebaliknya, deconstruction berusaha menghadirkan apa yang didengar dan dibaca oleh arsiteknya. Dengan pendekatan demikian ini, interplay antara ‘partai-partai’ yang berkepentingan dengan struktur dan isi sebuah karya menjadi sentral. Bukan dominasi dari suatu tema yang subjective; karena datang dari seorang yang berperan sebagai penguasa. Tema suatu karya dalam konteks deconstruction lahir dari struktur dan substansi yang spesifik sesuai dengan kekuatan dan potensi yang dimilikinya. Di sinilah sebenarnya peran deconstruction dalam pemikiran seni bangunan di manapun bermakna.
Ajakan untuk mendengar interplay antara unsur-unsur serta aspek-aspek yang membentuk suatu bangun konsep atau fasilitas merupakan langkah strategis bagi ‘deconstruction’. Strategis sebagai pembebasan diri dari kecenderungan manusia pada posisi penguasa yang dominan. Pemikiran ini sekaligus merevisi mitos humanisme Barat sejak Renaissance abad ke-17.

Deconstruction mencoba keluar dari paradigma pemikiran manusia sebagai “tuan” semesta. Selanjutnya, mengajak orang untuk lebih banyak mendengar dan terus menerus berkhotbah tentang apa yang ada di kepala mereka. Perubahan pemikiran dalam bekarya diperlukan, agar seni sebagai ‘puisi’ tidak kehilangan hakekatnya. Seperti diketahui, bahwa puisi dari hakekatnya adalah membuat sesuatu komposisi dari mendengar dan membaca sesuatu. Komposis yang demikian akan berbeda dengan dari apa yang diinginkan dan diharapkan. Komposisi yang ditawarkan oleh deconstruction tampak lebih dekat dengan menghasilkan optimasi interplay atau dialog unsur-unsur pembentuknya.
Sejauh manakah sebenarnya kaitan deconstruction dengan karya-karya bangunannya Frank O. Gehry, Morphosis, Zaha Hadid, Tschumi, Rem Koolhaas atau Libeskind? Sulit untuk menjawab pertanyaan - pertanyaan seperti itu, sebab deconstruction sendiri menolak keterpautan terhadap ruang dan waktu.


Kehadiran suatu karya dekonstruktif selaknya senantiasa kritis terhadap dunia yang dihadapinya. Dengan kata lain bukan semata-mata kritik sosial atau protes demonstratif, tetapi merangsang orang untuk terus menerus menggali pengetahuan tentang sesuatu. Dari karya-karya mereka tertarik untuk menggoyahkan sendi-sendi karya yang selama ini menjadi lambang kemapanan: simetria, harmoni, tertib-teratur (irama), komunikatif, dan stabil. Semua prinsip komposisi demikian telah menjadi bahasa perancangan bangunan yang baku untuk memberikan tempat tinggal manusia di atas bumi ini. Namun pernyataannya adalah sejauh manakah sebenarnya deconstruction mengguncang kemapanan melalui karya yang akhirnya akan mencari kemapanan baru pula? Jangan-jangan karya-karya yang disebut beberapa kritisi seni bangunan sebagai arsitektur dekonstruktif itu tak lain dari cara efektif komunikasi untuk menandai kecenderungan baru. Jadi sebutan atau label dekonstruktif yang dibubuhkan pada suatu karya disangsikan ada kaitannya dengan metoda filsafat atau literatur.
Coop Himmelblau, Roof Conversion,
Untuk gedung kantor pengacara di Vienna (1983-1988),
Penyesuaian sudut pada ruang pertemuan. Dalam tahap penggambaran, perancang telah memikirkan tentang sambaran kilat yang akan menyambar-nyambar dan merundukkan bangunan.
Menciptakan postur merunduk dengan rangka ‘tulang belakang’ dari baja.
                                                                 repro.Ton’s production




REFERENSI:

Karya-karya Jacques Derrida

  • De la Grammatologie, Paris 1967, diterjemahkan oleh Gayatri C. Spivak:Of Grammatology, Chicago 1976.
  • Marges de la Philosophie, Paris 1972, diterjemah oleh Ullstein Buch; Randgange der Philosophie 1976
  • La Carte postale: de Socrates a Freud et au-dela, Paris 1980
  • Position diterjemahkan oleh Allan Bass, Chicago 1981

Karya-karya Martin Heidegger
  • Sein und Zeit, Tubigen, 1927
  • Denkerfahrungen, Frankfurt 1983

Tidak ada komentar:

Posting Komentar